Kok bisa Kuliah di LN? (part 2)
by Muhammad Zuhdi on Saturday, October 23, 2010 at 11:25pm ·
Satu ketika di tahun 1997, saya mendatangi pameran pendidikan Australia di salah satu hotel di Jakarta. Pameran itu diikuti oleh berbagai perguruan tinggi Australia yang mencoba menarik anak-anak muda Indonesia untuk belajar di sana. Masing-masing stand menyampaikan informasi verbal, textual bahkan visual tentang kuliah di negeri Kanguru. Saya mengumpulkan brosur berbagai universitas yang memiliki jurusan yang saya minati. Setiap melihat prospectus-prospectus dan brosur-brosur tersebut, imaginasi saya melayang hingga ke Australia.
"Beruntung sekali anak-anak Indonesia yang bisa kuliah di sana... Fasilitas lengkap, profesor yang mumpuni, layanan ramah dan membantu, dan yang terpenting: pengalaman yang berbeda dari kuliah di tanah air. Oh iya satu lagi, pasti Bahasa Inggris mereka makin lancar."
Salah satu stand yang saya datangi membuka pendaftaran di tempat. Caranya tinggal mengambil buku profil yang tersedia dan isi formulir di situ, nanti bagian admission akan menghubungi. "Sebuah strategi pemasaran yang inovatif...!!"Saya teringat saran dari salah satu teman yang telah lebih dulu ke Australia, Nadirsyah Hosen (sekarang Prof.). Katanya, akan sangat menguntungkan kalau kita sudah punya kontak di salah satu universitas di Australia, apalagi jika sudah ada komunikasi dengan profesor di sana. Tentu peluang kita untuk kulaih di sana semakin besar.
Saya merasa ini adalah peluang untuk memulai kontak dengan salah satu universitas di Australia. Lalu sayapun mengisi formulir dan langsung mengembalikannya ke stand universitas tersebut. Menurut petugas, nanti akan dikenakan biaya pendaftaran AUS$100, tapi itu bisa menyusul. Saya memilih yang menyusul aja, kan ngga punya $. Melihat bentuknya aja belum pernah.
Selang beberapa minggu, saya menerima surat dari admission UNSW (University of New South Wales; universitas yang saya maksud). Saya diminta melengkapi persyaratan-persyaratan administrasi, seperti transkrip nilai, nilai TOEFL atau IELTS, dan uang pendaftaran $100, dan beberapa persyaratan lain. Lalu saya mengirimkan syarat-syarat yang diperlukan, kecuali uang pendaftaran, karena saya ngga tahu gimana cara bayarnya, dan juga sayang kalo ngga jadi. Saat itu TOEFL saya sekitar 520an.
Pada saat yang tidak jauh berbeda, saya juga mendaftarkan diri ke program beasiswa AusAID. Info AusAID ini saya peroleh di kampus, lewat surat edaran yang ditempel di papan pengumuman. Dengan semangat 45 saya mendaftar dengan melengkapi persyaratan, seperti formulir, transkrip nilai dan rekomendasi dua orang dosen senior.
Alhamdulillah, saya lulus pada seleksi administrasi, dan berhak mengikuti interview. Tentu saja saya excited dan sekaligus nervous. Beberapa waktu menjelang interview itu, saya juga menerima surat dari UNSW yang bertajuk conditional offer letter. Surat ini menambah kepercayaan diri saya untuk mengikuti interview. Karena kabarnya donor akan senang kalau calon penerima beasiswa sudah punya universitas yang akan menerima. Terkadang ada penerima beasiswa yang belum ada kontak dengan universitas manapun, begitu dapat award ternyata tidak ada universitas yang bisa menerima karena berbagai alasan.
Pada saat interview saya ditanya berbagai hal tentang minat pada bidang studi yang saya pilih, mengapa itu penting, apa yang dapat saya lakukan, dan yang terpenting adalah kontribusi apa yang bisa saya berikan ketika selesai studi nanti. Tentu semua itu saya jawab dengan segenap kemampuan yang saya miliki, sambil tak lupa sesekali memperhatikan "bahasa wajah" interviewers (3 orang). Kita kan bisa lihat reaksi orang yang senang (atau tidak senang) dengan jawaban kita. Jika wajahnya belum senyum, tentu saya akan tambahkan dengan jawaban yang kira-kira akan memuaskan penanya. Di akhir interview, saya ditanya, "is there anything else you would like to say?"
Dalam hati: "Ini pertanyaan yang saya tunggu-tunggu..."
Langsung saya keluarkan surat sakti dari UNSW yang menyatakan bahwa saya diterima dengan melengkapi persyaratan tertentu. Copy surat itu diterima salah seorang interviewer dan langsung disimpan dalam file wawancara saya. Selain seleksi administrasi dan wawancara, ada juga tes IELTS, tetapi bukan bagian dari proses seleksi, melainkan placement test untuk pre-departure training.
Setelah itu, waktu menunggu pun tiba. saat itu saya sudah diterima sebagai staf administrasi di bagian akademik di Fakultas Tarbiyah. Sebagai pegawai baru, tentu saya sibuk dengan rutinitas sehari-hari dengan kewajiban ngantor 6 hari seminggu. Bersyukurnya ada dosen yang mempercayai saya membantu beliau mengajar. Ketika itu saya mengasisteni Prof. Salman Harun yang mengajar mata kuliah Tafsir. Senang sekali bisa jadi staf administrasi tapi juga dapat tugas mengajar, sekaligus bisa belajar dari Prof. Salman Harun.
Di bulan Februari 1998, saya menerima surat dari AusAID. Saat-saat yang paling menegangkan adalah ketika membuka surat tersebut, apakah diterima atau gagal. Menurut pengalaman beberapa teman, kita hanya harus melihat kalimat pertama dari surat itu, apakah berbunyi: " Dear Mr. Zuhdi, I regret to tell you that...." kalimat berikutnya menjadi tidak penting, karena itu berarti kita tidak beruntung, atau berbunyi: "Dear Mr. Zuhdi, congratulations..." kalimat berikutnya menjadi sangat menarik, karena memberikan janji-janji yang akan segera menjadi kenyataan. Alhamdulillah setelah dibuka ternyata surat itu diawali dengan kalimat yang kedua.
"Australia... here I come...!!"

|