Kok bisa kuliah di LN ? (part 1)
Muhammad Zuhdi on Saturday, October 23, 2010 at 6:49am ·
Karena banyak yang bertanya bagimana cara saya pernah mendaptkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri, maka saya akan mencoba menuliskan pengalaman hidup saya soal yang satu ini.
Semenjak lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA) di Pondok Pesantren Al-Masthuriyah Sukabumi, saya punya keinginan untuk kuliah di luar negeri. Kabarnya lulusan Al-Masthuriyah di masa lalu bisa memperoleh beasiswa di Al-Azhar Kairo, tetapi tradisi itu terputus sehingga sulit untuk memperolehnya kembali. Ada kawan saya, Daden AMS, yang punya niat serupa dan harus mengikuti tes dulu di Departemen Agama.
Ayah saya (alm.) sangat ingin mewujudkan keinginan saya tersebut dan membicarakannya dengan tokoh-tokoh yang beliau kenal, sekaligus minta pendapat. Yang saya ingat beliau pernah mendiskusikan ini dengan Habib Syekh Al-Jufri dan K.H. Sholeh Jailani (alm.). Singkatnya beliau ingin agar ada anaknya yang kuliah di luar negeri. Tetapi K.H.Soleh Jailani menyarankan agar sebaiknya kuliah di Jakarta dulu hingga selesai, baru nanti S2 di luar negeri, krn banyak yg kuliah S1 di LN, tapi ngga selesai, akhirnya tidak memperoleh apa-apa. Walhasil, karena memang belum ketemu jalannya dan ditambah dengan saran dari ustaz, maka keinginan saya kuliah di luar negeri tertunda.
Akhirnya saya kuliah di IAIN Jakarta di Jurusan PAI. Saya menilai prestasi saya selama kuliah biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol tetapi juga tidak memalukan. Di samping itu, saya juga bukan aktivis kampus, sehingga tidak banyak kenal senior-senior yang sudah melanglang buana lebih dulu. Tapi selesai kuliah S1, keinginan untuk kuliah ke luar negeri muncul lagi.
Kesempatan mulai terbuka ketika saya ikut program pembibitan calon dosen. Thanks to Pak Quraish Shihab, saya dan beberapa teman bisa memperoleh keterangan lulus dan bahkan copy ijazah sebelum wisuda, sehingga saya bisa daftar ikut program cados itu. Di situlah saya dipertemukan dengan teman-teman saya yang hebat-hebat dan imajinatif dari seluruh Indonesia. Kami semua (40 orang) punya mimpi yang sama, yaitu kuliah di luar negeri. Tentu di negara yang kualitas pendidikannya lebih baik di banding Indonesia.
Ketika diterima di program cados, saya masuk dalam kelompok Bahasa Arab di bawah asuhan Dr. H. Akrom Malibary. Kelompok ini terdiri dari 20 orang lulusan IAIN se-Indonesia yang ditraining berbahasa Arab untuk dapat mengikuti kuliah di negara-negara berbahasa Arab. Kelompok lain adalah kelompok Bahasa Inggris (juga 20 orang) yang lebih ditekankan untuk kuliah di negara-negara Barat. Namun demikian kelas kami juga diajarkan Bahasa Inggris dan TOEFL, meskipun tidak intensif. Di samping itu, saya dan seorang karib, Muhsin Mahfudz (IAIN Makasar), sering belajar di luar kelas, berlatih mengerjakan soal-soal TOEFL, karena yakin ini adalah salah satu alat untuk mendapatkan tiket sekolah di luar negeri.
Selain belajar, kami juga mengerahkan segala kemampuan untuk mendapatkan informasi mengenai beasiswa di luar negeri. Di cados ini, informasi mengenai beasiswa mengalir dengan cukup kencang. Sayangnya, di kelas Bahasa Arab, informasi beasiswa tidak sederas kelas Bahas Inggris. Sejauh yang saya dan teman-teman terima, informasi studi lanjutan di negara-negara Timur Tengah datang dari Saudi Arabia dan Mesir. Menurut kabar, untuk memperoleh beasiswa studi S2 di Saudi cukup sulit jika yang bersangkutan memperoleh gelar S1 dari Indonesia, entah apa alasannya (saya sendiri tidak mengecek kebenaran kabar ini). Sementara beasiswa ke Mesir ternyata diperuntukkan untuk fakultas-fakultas tertentu, yaitu: Syari'ah, Da'wah, Ushuluddin, dan Adab. Sayangnya (atau mungkin beruntungnya?) tak ada peluang buat lulusan Tarbiyah seperti saya. Ketika beberapa orang teman dari fakultas-fakultas di atas berangkat ke Al-Azhar, saya pun masih harus bersabar untuk mencari (catat: sabar mencari bukan sabar menunggu) kesempatan lain.
Setiap pengumuman mengenai beasiswa tak luput dari perhatian, bahkan mendatangi berbagai pameran pendidikan manca negara pun saya lakoni. Walaupun kadang ada rasa minder, karena biasanya pameran pendidikan diadakan di hotel-hotel berbintang atau tempat-tempat eksklusif di Jakarta, saya nekat aja. Cari informasi sebanyak-banyaknya, sambil mengumpulkan brosur dan tanya-tanya jikalau ada peluang mendapatkan beasiswa. Entah berapa program beasiswa yang saya isi dan kirimkan formulirnya.
Di samping itu, persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan pun pelan-pelan saya lengkapi. Sebut saja Tes TOEFL di LIA, menterjemahkan ijazah dan transkrip ke dalam Bahasa Ingris, dan membuat proposal tesis sederhana, hingga mendatangi Doktor lulusan luar negeri dan guru besar yang saya kenal untuk minta rekomendasi. Hal lain yang juga saya lakukan adalah sering berkunjung ke British Council Library di Senayan, sekedar untuk membiasakan membaca buku-buku berbahasa Ingris yang up-to-date.
To be continued...
|