Massss Zuhdiiiii ...*)
*) panggilan sayang Izza ke mz
Education and creativity
The Jakarta Post - Opinion and Editorial - April 02, 2005
Muhammad Zuhdi, Jakarta
The debate surrounding the national examinations over the last few months has led us to misjudge the meaning of education. The meaning of education, which has so far been reduced to schooling, has now been further downgraded to academic achievement, more specifically, the performance of students in the national examinations.
It is clearly stated in the 2003 Education Law that the function of national education is to develop Indonesia's future generation to become well-adjusted, healthy, smart, creative, and independent individuals, in addition to being faithful, democratic and responsible citizens.
The point that I would like to highlight here is creativity, since this is the most important aspect of education and one that has almost been forgotten by many. It is clear that the debate over national examinations for Indonesian schools misinterprets the meaning of an "educated person".
Within the current educational system, children, under the guidance or even pressure of teachers, are expected to achieve certain measurable academic standards that will be assessed at the end of the day. This system is certainly rational within the context of accountability and quality control. This, unfortunately, can mislead educational practitioners to limit their goals to only guiding their students to achieve high academic standards without paying attention to other aspects of the students' lives.
Kieran Egan (1988), a professor of education at the Simon Fraser University in Canada, emphasized the importance of imagination in education, realizing how our current society, especially our education system, pays very little attention to this important aspect of education. According to Egan, every society has its own oral cultures that are built upon imagination. This is what he calls bonnes a penser, which are things that keep society thinking about various issues.
Imagining is an ability to think and illustrate something extraordinary. It is an invaluable gift that leads human beings to invent their civilization. It is also an important means of education that can encourage students to combine their experiences and intellectual capacities to dream within their consciousness. This is what makes imagination different from fantasy. Hence, allowing children to use their imagination through education will help them develop their own creativity.
In a rapidly changing and competitive world, creativity is a very important asset of an educated human being that allows him/her to survive and achieve a better life. Particularly, it is something that Indonesia, in its present situation, needs in order for this country to have a better future.
Our cultural heritage shows that imagination had its place in our past generations. We can easily see how they productively used their imaginations through folktales, folk songs, nursery rhymes, architecture, and literature. Those works reflected how our people creatively responded to various events in their lives based on their own knowledge and experiences.
It is unfortunate, therefore, to see that our current education system pays very little attention to the use of imagination in today's classrooms. There is very little room for them to use their imaginations and develop their creativity. It seems that the use of imagination is something that is now confined to pre-school education.
This, then, explains why the interest in reading among Indonesian people is low despite the fact that our level of education has increased. It is because students are only expected to read textbooks and are rarely introduced to literary works that could let their imaginations soar.
Therefore, setting aside the controversial issue of the national examinations, the education authorities at the central level should take whatever action is necessary to ensure that our schools do not only teach our children to become academic high-achievers but also creative and imaginative individuals. And this will not take place until our schools' curricula allow and encourage teachers to creatively and imaginatively manage their classrooms.
Tulisan lain :
The new curriculum: Hopes and challenges
Go..mz go.. !! ayo..ayo nulis lagi .. tapi gak usah pake stress ya ..
Kebetulan banget di Nakita ada artikel tentang Imajinasi yang berguna buat para orangtua. Kalo kurikulum, sekolah ato guru memang belum bisa diandalkan, kita bisa mengandalkan diri kita sendiri untuk meningkatkan imajinasi (kecerdasan) anak dan tentu sekaligus juga bikin lebih deket dan lebih ngerti anak sendiri. Semoga ..
Artikel dari Tabloid Nakita - Dunia Pra sekolah Nomer 314 - tahun VII
JANGAN SEPELEKAN IMAJINASI ANAK
Siapa tahu imajinasi itu adalah awal ide brilian yang kelak bisa diwujudkan.
Siapa tak kenal Prof. B.J. Habibie? Dari salah satu biografinya terungkap, sejak kecil, mantan presiden RI ini senang menggambar pesawat. Bahkan, ia selalu berkata, bila besar ingin membuat pesawat. Siapa sangka, dari sekadar membuat coretan pesawat hasil imajinasi dan selalu berceloteh tentang pesawat, akhirnya Habibie dikenal sebagai perancangbangun pesawat. Salah satu rancangannya yang terkenal dan diakui oleh dunia internasional adalah VTOL (Vertical Take Off & Landing) Pesawat Angkut DO-31.
Dari cerita di atas, kata Dra. Psi. Sandra Talogo, MSc., orang tua bisa belajar, ide seorang anak bukan tak mungkin kelak bakal bisa diwujudkan. "Habibie pasti mendapat respons positif dari orang tuanya, sehingga dia terpacu untuk mewujudkan idenya tersebut. Meski ide tersebut diwujudkannya setelah dewasa, tetapi hal ini menunjukkan bahwa ide anak bukan berarti sekadar bualan yang tak mungkin."
Makanya, saran Sandra, orang tua jangan pernah menyepelekan ide-ide anak, betapa pun ide itu kelihatan muskil di mata orang dewasa. "Buat anak, tak ada yang mustahil. Yang mereka tahu, mereka punya imajinasi-imajinasi yang ingin dibagi pada orang lain. Dan orang yang terdekat, tentulah ayah-ibunya."
BERIKAN RESPONS POSITIF
Anak usia prasekolah, kata psikolog dari Yayasan Pelangi Indonesia Spektrum ini, lagi senang-senangnya mengembangkan daya imajinasinya. "Ide-ide itu, kan, berasal dari imajinasinya. Ditambah dengan keterampilan verbalnya yang semakin baik, jadilah anak mampu menceritakan pikiran-pikiran yang ada di kepalanya."
Kadang, ide-ide itu muncul sebagai hasil imitasi. Tak masalah. "Di usia prasekolah, anak-anak mulai senang nonton teve. Nah, dari teve itu banyak imajinasi yang mereka dapatkan. Misal, melihat pesawat terbang, lalu mereka mengkhayalkan alangkah enaknya kalau punya mobil yang juga bisa terbang." Bukan cuma itu, ide-ide yang dilontarkan pun seringkali membuat orang tua terkaget kaget, "Ini anak, kok, pemikirannya jauh banget, sih!" Orang tua merasa, pemikiraan si anak "tak lazim".
Yang jelas, berimajinasi atau mengeluarkan ide-ide adalah bagian dari tugas perkembangan di usia 4 tahun, dan hal ini menunjukkan kecerdasan si anak. Karena itulah, apa pun ide anak, orang tua tak boleh melecehkannya. Justru orang tua harus mengoptimalkan potensi anak. Salah satunya, dengan merespons positif semua isi hati dan kepala si anak. "Ini, kan, bagian dari kreativitas seorang anak. Orang tua harus menggali lebih jauh untuk merangsang semua pemikiran anak. Siapa yang tahu, dari kepala anak akan muncul ide-ide brilian yang bisa diwujudkan."
JADILAH PENDENGAR AKTIF
Orang tua sebaiknya juga mau menjadi pendengar yang aktif. Maksudnya, saat anak mengeluarkan ide-idenya, orang tua bukan cuma mendengarkan tetapi juga menstimulasi kemampuan analisanya dengan selalu mengeluarkan pertanyaan lanjutan. Contoh, anak berandai-andai mempunyai rumah kardus di pohon halaman belakang. Nah, orang tua bisa menanyakan, apa kegunaannya, bagaimana bentuknya, mengapa dia sampai punya ide tersebut, dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Bila anak cenderung diam, tak pernah mengungkapkan pikirannya, dorong dan pancing kemampuan verbalnya. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan maupun pikirannya, "Bagaimana perasaanmu hari ini, Sayang?" Atau, bila habis berkunjung ke tempat baru, orang tua juga bisa memancing anak agar mau bercerita tentang pengalamannya. Tentu dengan bahasa anak-anak, tanpa menuntutnya menceritakan secara runtut dan detail. Setidaknya, ada usaha orang tua untuk mengoptimalkan kemampuan anak mengeluarkan pi-kirannya.
Yang pasti, jika sejak awal orang tua selalu menanggapi positif komentar/ide-ide anak, ke depannya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kreatif dan mampu menganalisa semua hal dengan baik. Ujung-ujungnya, dalam hal problem solving pun, ia akan lebih mudah. Tetapi bila anak tak punya kesempatan melontarkan ide-idenya, ia bukan saja akan berkembang menjadi pribadi yang pasif, tapi juga tidak mandiri dan kepercayaan dirinya pun akan luntur.
5 MANFAAT
1. Terampil Berkomunikasi
Umumnya, anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang selalu memberikan tanggapan positif pada setiap ide anak dan selalu menstimulasinya untuk berdiskusi, akan lebih terampil dalam berkomunikasi. Bukankah ia akan banyak menggunakan kata-kata dalam menyampaikan idenya? Hal ini berarti melatih kemampuannya berbahasa. Apalagi bila kemudian anak sering bersosialisasi dengan orang lain, ia akan semakin mengasah kemampuannya berkomunikasi.
2. Mahir Menganalisa & Kreatif
Bila orang tua menggali lebih lanjut ide-ide anak dan tidak menganggapnya sebagai komentar kekanak-kanakan yang konyol, maka anak juga akan belajar memberi alasan-alasan pemikirannya. Bila hal ini terus dilakukan, berarti kita melatih kemampuan analisa mereka. Ini berguna sebelum memutuskan suatu hal. Jadi sebagai problem solving bila menemukan masalah. Anak pun jadi kreatif, tidak hanya terpaku pada apa yang dikatakan oleh lingkungan.
3. Mampu Bersaing
Penting diingat, kelak persaingan kerja akan semakin ketat. Mereka yang bisa bersaing adalah yang mampu mengungkapkan ide-idenya. Nah, ini tentunya dari sejauh mana orang tua beranggapan bahwa anak-anak pun boleh berekspresi. Jadi, jangan sampai meng-cut ide anak. Mungkin saja ide itu bisa diwujudkan menjadi sesuatu yang berguna buat orang lain, entah sekarang atau nanti.
4. Mandiri & Percaya Diri
Bila anak bisa mengungkapkan pemikiran dan pendapatnya, akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri dan mandiri.
5. Manfaat Bagi Orang Tua
Orang tua jadi bisa lebih memahami diri anaknya karena tahu isi hati dan kemauan si anak, sehingga tak salah dalam menangani anak. Misal, menyalurkan ide-ide anaknya dengan mencoba mewujudkan ide-ide tersebut lewat gambar.
DIWUJUDKAN MAKIN PEDE, DITOLAK TAK KECIL HATI
Untuk ide-ide yang bisa segera direalisasikan, tak ada salahnya orang tua membantu mewujudkannya. Contoh, anak punya ide membuat rumah kayu di pohon halaman belakang, nah, mengapa tidak. "Ini, kan, mudah diwujudkan dengan bantuan ayah atau tukang. Jadi idenya bukan hanya imajinatif, tapi juga bisa diwujudkan. Dengan mengikuti idenya, berarti kita memberikan positive feedback," bilang Sandra.
Orang tua juga bisa menambahkan "Wow, ide Kakak bagus sekali. Sekarang kita bisa berpiknik di rumah kayumu." Jadi, selain mewujudkan idenya, orang tua juga menghargai ide anak. Dengan demikian, anak terkondisikan untuk selalu menampilkan ide-idenya. Rasa percaya dirinya pun semakin tinggi karena buah pikirannya bisa terwujud menjadi sebuah benda yang bisa dilihat dan dipegang.
Kalaupun idenya tak bisa diwujudkan, semisal naik mobil terbang, kita bisa menjelaskan alasannya. Misalnya, karena untuk bisa seperti itu kita harus punya alat dan ruang yang khusus.
Dengan begitu, orang tua pun perlu cermat dalam merespons ide yang bisa membahayakan keselamatan anak. Asal tahu saja, kalau anak dilarang tanpa diberi alasan atau tak mendapat respons yang memuaskan, dia malah ingin coba-coba mewujudkannya. Contoh, anak melihat film Batman yang bisa terbang lantas punya ide untuk melakukan hal yang sama dengan melompat dari atas lemari sambil menggunakan sarung ayahnya. Ini, kan, bisa membahayakan keselamatannya.
Nah, orang tua harus menjelaskannya pada anak, apa bahayanya dan mengapa di teve boleh sementara si anak tak boleh melakukannya. Dengan begitu, kita tidak memutuskan imajinasinya, sementara si anak pun belajar mengenal mana yang realistis atau bisa diwujudkan. "Tetapi idenya tetap harus dipuji, lo. Selanjutnya kita berikan feedback pada dia, bahwa ada ide yang bisa diterapkan, ada yang kadang-kadang sulit atau bahkan tidak bisa. Jadi si anak juga belajar kenyataan hidup."
Lagi pula dengan orang tua memberi kesempatan pada anak untuk melihat realita, ide mana yang bisa diwujudkan ataupun tidak, maka si anak akan "lentur" perasaannya. "Anak akan tahu, oh, its ok kalau ideku sesekali enggak diterima karena sukar diwujudkan." Ini berguna bila kelak dia dewasa nanti. Di dunia kerja, kan, ada ide yang diterima dan ada yang tidak. Nah, kalau dari kecil seseorang selalu direspons positif dan di-encourage, penolakan semacam itu tak akan membuatnya kecil hati. Ia akan selalu siap dengan ide-ide lainnya.
Santi Hartono. Foto: Ferdi/nakita
|