Susahnya... Mau ke Amrik
Waktu kejadian 11 september 2001 yang menghebohkan itu, saya belum genap sebulan tinggal di Kanada. Nining masih di Jakarta, dan Izza belum lahir. Karena saat itu diduga kuat pelakunya adalah para teroris yang kebetulan Muslim, maka wajar bila keluargaku di Jakarta kemudian merasa khawatir akan keadaanku di Montreal yang hanya sekitar 2 jam penerbangan dari kota New York. Mereka khawatir, kejadian itu berakibat pada dikriminasi dan intimidasi terhadap orang-orang Muslim di Amerika dan Kanada.
Alhamdulillah, setelah dua tahun berlalu, Nining dan Izza juga ada di Montreal, kami ngga pernah merasakan perlakuan diskriminatif yang menganggu kehidupan kami di sini. Segala urusan publik, seperti sekolah, mencari apartemen, mencari daycare, ngurus child benefit, dan lain-lain berjalan dengan lancar. Walhasil, meskipun ada beberapa cerita teman yang pernah memperoleh perlakuan diskriminatif, kami tidak pernah merasakan efek langsung dari peristiwa 11 september itu.
Meski begitu, kami memang menghindari untuk bepergian ke ataupun lewat Amerika (meskipun tidak terlalu jauh dan juga kepingin). Menurut pengalaman salah seorang teman, bepergian ke Amerika pasca 11 September tidak lagi menyenangkan terutama di bandara-nya. Karena itu, ketika pulang ke Indonesia beberapa waktu yang lalu, saya pesan ke travel agent, agar dicarikan route yang tidak lewat US, meskipun kalau lewat US harga tiket bisa save s.d. $200.
Setelah lebih dua tahun kuliah di Kanada, sebagai seorang mahasiswa PhD, saya berkeinginan untuk mempresentasikan karya saya di sebuah forum akademik. Dengan harapan agar saya bisa memperoleh feedback dari para akademisi dan bisa membuka jaringan untuk karir saya ke depan. Kesempatan itupun datang ketika Society for the Study of Curriculum History, sebuah organisasi yang menghimpun para pakar sejarah kurikulum, mengadakan konferensi di San Diego, California, 16-17 April, 2004. Dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan, saya pun segera menyiapkan proposal dan mengirimkannya ke panitia, jauh sebelum deadline yang ditentukan.
Alhamdulillah, awal Februari lalu, saya menerima konfirmasi dari panitia, bahwa proposal saya lulus seleksi dan saya diundang untuk mempresentasikan paper saya di forum tersebut. Tentu saja, kabar ini saya sambut gembira dan segera mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan, termasuk menyiapkan paper dan mengurus visa.
Saya kemudian langsung mengontak konsulat Amerika di Montreal untuk membuat appointment guna memperoleh US visa. Lagi-lagi saya beruntung, karena saya dapat kesempatan interview tanggal 24 Februari 2004 jam 10.30, atau dua minggu setelah saya menelpon (padahal biasanya butuh waktu sekitar satu bulan).
Pada tanggal 24 Februari, jam 10 pagi, saya sudah berada di depan ke konsulat Amerika, lengkap dengan berbagai persyaratan administratif yang diminta: surat dari panitia konferensi, proposal, itenerary, surat-surat dari Universitas, sponsor dan supervisor, bank statement, dan tentu saja passport. Saya melihat di luar pintu gerbang konsulat banyak orang berdiri. Padahal suhu hari itu "lumayan dingin", sekitar -10 C.
"Ada demo kah sepagi ini?", tanya saya dalam hati. Karena demonstrasi di depan konsulat/kedutaan Amerika bukanlah hal yang aneh, termasuk di sini. Tapi biasanya demo baru mulai lewat jam 12 siang.
Setelah saya mendekat dan tanya ke seseorang, ternyata mereka sedang antri untuk interview visa. Masing-masing memegang "kartu undangan" yang diberikan pihak konsulat lewat pos. Maka saya pun ambil posisi dalam antrian sambil mengeluarkan kartu undangan itu dari dalam tas.
Awalnya saya ngga ngerti mengapa antrian di luar gedung begitu panjang, tapi setelah posisi saya mendekat ke pintu masuk konsulat, barulah nampak, antrian panjang itu terjadi karena untuk masuk ke gedung konsulat, setiap orang harus diperiksa. Di sini saya mulai merasakan adanya perlakuan yang kurang mengenakkan. Believe me ! pemeriksaan di sini jauh lebih ketat daripada kalau kita mau boarding ke pesawat. Para calon interviewee harus membuka jaket, menunjukkan isi dompet dan tas, lalu berjalan melewati screening dor. Semua tas dibuka dan dipreteli isinya. Barang-barang yang dianggap mencurigakan dilarang masuk. Bahkan, sampai botol "aqua" pun ngga boleh ikut ke ruang interview. Tentu saja ini di luar dugaan saya, "kok sampe begini ya ketakutannya orang Amerika..., what a paranoid people...", gumam saya dalam hati. Tambahan lagi para petugasnya ngga ada yang mau senyum, persis kaya robot.
Setelah melewati screening dor yang tidak bersahabat itu, saya kemudian menuju ruang interview. Disitu, saya harus setor US$100 cash dan menyerahkan segala berkas yang diperlukan, sebelum dipanggil untuk diinterview. Ternyata interview-nya tidak seheboh yang saya bayangkan. Saya hanya ditanya beberapa hal seputar rencana kunjungan ke US dan status saya di Kanada. At the end, interviewernya (yang mengaku pernah kerja di Jakarta) bilang: "your file looks OK, and we still have a lot of time before April 16. However, we have to send your file to Washington for approval. Because we don't have the authority to approve a visa here. We will call you once your application is approved". Saya pun merasa optimis untuk jadi berangkat ke San Diego.
Dengan semangat '45, saya berupaya menyelesaikan paper dan transparansi untuk presentasi. Di samping itu, saya juga mencari berbagai informasi tentang San Diego lewat internet. Dan yang lebih penting lagi, saya berhasil memperoleh Alma Mater travel grant, yaitu dukungan dana dari universitas untuk keperluan konferensi.
Setelah satu bulan berlalu dan pihak konsulat belum juga menghubungi, saya mencoba berinisiatif untuk mengontak mereka lewat email. Jawaban yang saya terima adalah: "we haven't received your file back, we will contact you once we have". Sampai awal April, saya belum juga menerima kepastian dari pihak konsulat, padahal pihak panitia sudah mencantumkan paper saya dalam jadwal resmi konferensi. Maka saya pun berkirim email lagi ke konsulat. Jawaban yang saya terima tidak berubah dari yang terdahulu. Artinya, visa saya belum diterbitkan. Maka saya pun mulai pesimis untuk bisa berangkat, meskipun masih menyimpan keinginan. Nining hanya bisa menghibur dengan mengatakan, "mungkin akan diapprove beberapa hari sebelum conference".
Tunggu punya tunggu, ternyata sampai dua hari menjelang conference, telpon yang diharapkan tak kunjung tiba, maka saya pun mengontak panitia dan meminta maaf, bahwa saya ngga bisa memenuhi jadwal presentasi karena visa saya belum diapprove. Untunglah pihak panitia mau mengerti keadaan yang saya alami dan membesarkan hati saya untuk ikut konferensi pada kesempatan lain.
Walhasil, sampai berita ini di-upload dan konferensi sudah berlalu, tidak ada berita secuil-pun dari pihak konsulat Amerika bahwa permohonan visa saya diterima ataupun ditolak. Banyak analisis (dari teman-teman) yang menyebutkan faktor utamanya adalah nama saya, meskipun tidak ada bukti konkrit tentang itu. "what a paranoid world..." begitu kata Professor Anthony Pare (supervisornya Maknyak) yang mendengar cerita saya.
Ternyata, tragedi 11 September masih menghantui pemerintah Amerika, dan karenanya saya harus ikhlas untuk tidak diperkenankan menjejakkan kaki di negara mereka. Benarkah itu terjadi karena nama saya mencerminkan saya seorang Muslim? wallahu a'lam. [emzet]
P.s.

Happy Bithday to Eyang Kakung di Jakarta (1 Mei), Semoga kesehatan Eyang terus membaik, mmmuah dr kita semua. Juga untuk Tante Menuk (3 Mei) dan Mas Danan (5 Mei), kami siap menyerbu hi..hi..
|